Pages

Wednesday, November 6, 2019

Pasar Saham Dunia Galau, IHSG Tampaknya Sulit Tidak Melow

Jakarta, CNBC Indonesia - Tidak disangka, aksi profit taking yang melanda Asia kemarin serta kurang joss-nya data penjualan ritel ternyata membuat sisa-sisa sentimen positif dari pengumuman pertumbuhan ekonomi tidak berarti kemarin (7/11/19).

Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya sempat mencicipi penguatan hingga 0,16% di awal perdagangan kemarin, yang setelah 25 menit kemudian tenggelam dan tidak pernah kembali menjenguk zona hijau di sisa hari hingga ditutup pada posisi koreksi 0,74% menjadi 6.217.


Investor asing menunjukkan aksi jual bersih (nett foreign sell) di pasar reguler Rp 322,8 miliar di tengah total transaksi Rp 9,37 triliun kemarin, yang dengan cepat membuat angka beli bersih Rp 195,97 miliar sehari sebelumnya semakin tidak berarti.


Enam indeks sektoral dari total sembilan melemah, dipimpin oleh sektor keuangan dan infrastruktur yang berkurang nilainya 1,6% dan 1,18% pada hari yang sama. Pelemahan juga terjadi pada sektor barang konsumsi yakni 0,38% yang mencerminkan lemasnya angka penjualan ritel.

Dari sektor itu, pelemahan saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang turun 1,56%, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang terkoreksi 0,91%, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang susut 0,62% menjadi pembeban utama dari kelompok saham unggulan, atau biasa disebut barang blue chips. Melemahnya KLBF ternyata juga diikuti dua saham di sektor farmasi lain yaitu PT Kimia Farma Tbk (KAEF) 2,33%.

Hanya ada tiga sektor yang menguat kemarin yaitu tambang, perdagangan, dan industri dasar dengan kenaikan masing-masing 1%, 0,3%, dan 0,12%. Khusus di subsektor emiten batu bara dari kelompok emiten tambang terutama mengekor naik tipisnya harga si komoditas hitam di tengah sepinya sentimen positif lain.

Penguatan harga batu bara itu diperkuat oleh sentimen hengkangnya Amerika Serikat dari kesepakatan Paris Agreement. Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change). Gestur Negeri Paman Sam tersebut mengindikasikan bahwa mereka belum move on dari energi karbon yang salah satu komoditas utamanya adalah batu bara, dan seakan menjamin konsumsi yang tinggi dari negara yang mengaku adidaya tersebut.

Hasilnya, harga batu bara kontrak ICE Newcastle sempat menguat, meskipun akhirnya terkoreksi 0,88% pada perdagangan kemarin di mana si hitam dihargai US$ 66,9/ton.


Saat ini, tren harga batu bara global masih konsolidasi dan belum pernah lebih tinggi dari level US$ 68/ton sejak awal bulan karena belum ada katalis yang kuat untuk membuat harga batu bara kembali berbuat banyak.

Pelemahan pasar saham ternyata linear dengan nilai tukar rupiah yang juga mengayun ke zona koreksi hingga 0,32% menjadi Rp 14.010/dolar AS kemarin.

Posisi rupiah yang sudah lumayan kuat terhadap greenback, sebutan lain dolar AS, dalam sebulan terakhir (1,02%) membuat investor di pasar valas mulai merealisasikan keuntungan mereka, yang sebelumnya baru berupa potensi. Bukan hanya itu. Koreksi turut menyematkan titel terlemah kedua di Asia untuk mata uang garuda kemarin.

Beralih ke pasar obligasi, perdagangan efek utang rupiah pemerintah tersebut meriah di awal perdagangan kemarin, yang memancing transaksi beli lebih kencang dan mendorong kenaikan harga instrumen utang menguat di pasar sekunder.

Meskipun gahar di awal-awal, penguatan harga melandai karena sentimen positif yang sedang berkembang ternyata tergerus oleh data penjualan ritel yang menurunkan ekspektasi positif makroekonomi di dalam negeri.

Kenaikan sehari kemarin terutama dialami surat utang negara (SUN) seri acuan FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan tingkat imbal hasil (yield) 3 basis poin (bps) menjadi 7,44%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Selain FR0068, seri lain yang menjadi acuan pasar tahun ini adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

[Gambas:Video CNBC]

 

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2CjDkVd
via IFTTT

No comments:

Post a Comment