Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia baru saja merilis laporan kemudahan berbisnis (ease of doing business) di mana peringkat Indonesia stagnan di 73. Mampu melibas lima negara, sayangnya Indonesia dikacangi oleh empat negara lain. Berikut ini ulasannya.
Dalam laporan berjudul "Doing Business 2020", Bank Dunia mencatat Indonesia sudah melakukan perbaikan pada lima aspek tahun ini, sehingga skor kemudahan bisnisnya naik 1,64 poin menjadi 67,96. Namun peringkatnya flat di urutan ke-73.
Perlu dicatat, kenaikan ini lebih tinggi dari yang dibukukan Vietnam pada periode sama yang hanya naik 1,24 poin (menjadi 69,8). Namun, itu saja masih belum cukup untuk menggeser posisi mereka, meski peringkat Negeri Paman Ho itu turun 1 level ke 70.
Namun, perbaikan itu kalah cemerlang dibanding beberapa negara lain, yang sukses melompati Indonesia, misalnya India (dari peringkat 63 ke 77), Jamaika (dari 75 ke 71), Uzbekistan (dari 76 ke 69), dan Oman (dari 78 ke 68).
Yang menyakitkan, jumlah perbaikan (reformasi) yang mereka melakukan justru lebih sedikit dibandingkan yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia sebagaimana terlibat dalam data Bank Dunia. Namun nyatanya, peringkat mereka melompati Indonesia.
Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Bank Dunia menggarisbawahi bahwa persoalan terbesar Indonesia-yang relatif sudah diatasi oleh keempat negara itu-terletak pada aspek yang tak terdaftar di rangkuman daftar 10 aspek tersebut tetapi menetap dalam perhitungan skor indeks kemudahan bisnis oleh Bank Dunia, yakni ketenagakerjaan.
"Di antara ekonomi dengan penghasilan menengah-rendah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menjadi salah satu yang memiliki regulasi ketenagakerjaan paling rigid, terutama terkait dengan pengangkatan kerja," tulis Bank Dunia dalam laporan riset tersebut.
Kebijakan upah minimum yang wajib diikuti pengusaha, lanjut lembaga yang dipimpin Jim Yong Kim ini tujuannya memang positif yakni menjamin kompensasi yang adil untuk pekerja. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini dijalankan dengan mengorbankan kepentingan pemodal.
Riset Bank Dunia menyebutkan bahwa perusahaan yang beroperasi di negara berkembang kesulitan membayar upah minimum karena rasionya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan median laba yang dibukukannya. Hal serupa tidak terjadi di negara maju.
Sebagai contoh, tiap kenaikan upah minimum sebesar 10 persen-poin di sebuah provinsi di Indonesia akan berujung pada penurunan pembukaan lapangan kerja secara rata-rata sebesar 0,8 persen-poin di provinsi yang sama.
BERLANJUT KE HAL 2>>
(ags/ags)from CNBC Indonesia https://ift.tt/2N9SPnF
via IFTTT
No comments:
Post a Comment