Pada perdagangan hari Jumat (2/8/2019) pukul 09:00 WIB, harga emas kontrak pengiriman Oktober di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,94% ke level US$ 1.445,9/troy ounce (Rp 650.887/gram).
Adapun harga emas di pasar spot terkoreksi 0,88% menjadi US$ 1.432,3/troy ounce (Rp 644.769/gram).
Sehari sebelumnya (1/8/2019), harga emas COMEX dan spot ditutup menguat masing-masing sebesar 0,04% dan 2,23%.
Dini hari tadi Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan akan mengenakan bea impor 10% bagi produk-produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September 2019. Produk-produk tersebut sebelumnya bukan merupakan objek perang dagang.
Langkah yang diambil oleh Trump mengejutkan banyak pihak. Pasalnya baru saja delegasi dagang kedua negara selesai mengadakan perundingan tatap muka di Shanghai.
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," tulis Trump melalui Twitter.
Dengan begini, eskalasi perang dagang dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan sulit untuk dihindari.
China kemungkinan besar akan mengambil langkah yang serupa, yaitu bea impor tambahan untuk produk-produk made in USA.
Padahal belum lama eskalasi pertama perang dagang AS-China sudah meletus, yaitu pada bulan Mei.
Kala itu Trump menaikkan bea masuk produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%). China membalas dengan mengenakan bea impor tambahan antara 5-25% untuk produk AS senilai US$ 60 miliar.
Dengan eskalasi pertama saja, Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Di bulan Juni, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 2,9% menjadi 2,6%.
Menyusul satu bulan kemudian, IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dari 3,3% menjadi 3,2%.
Dengan adanya eskalasi perang dagang (lagi), maka perlambatan ekonomi global tampaknya masih akan terus terjadi. Alih-alih diredam, yang ada perekonomian global makin lambat.
Sementara AS-China memanas, kondisi di Benua Biru juga sama busuknya.
Inggris, di bawah komando Perdana Menteri yang baru, Boris Johnson, telah menyiapkan anggaran sebesar GBP 2,1 miliar untuk beraga-jaga jika terjadi No Deal Brexit, alias keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Anggaran tersebut nantinya bisa dipakai untuk memfasilitasi dunia usaha dengan mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, hingga menjaga pasokan obat-obatan di Negeri Ratu Elizabeth.
"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah.
Hal tersebut memberi sinyal-sinyal bahwa kemungkinan No Deal Brexit masih terbuka lebar. Bahkan cenderung tinggi.
Bila benar terjadi, maka aliran perdagangan global sekali lagi akan mengalami hambatan karena Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima dunia.
Dalam kondisi perekonomian global yang serba tak pasti ini, investor akan cenderung main aman. Investasi di aset-aset berisiko mulai ditinggalkan dan beralih ke instrumen safe haven.
Emas adalah salah satu instrumen yang sering dijadikan pelindung nilai (hedging) karena nilainya yang relatif stabil.
Alhasil emas banyak diborong dan membuat harganya kembali menanjak. (taa/hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/31601pW
via IFTTT
No comments:
Post a Comment