Wajar saja hal ini menuai protes dari para penambang nikel. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun buka suara, dengan membeberkan lima alasan buat pemerintah agar tidak mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel.
1. Tata niaga
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey menuturkan, yang pertama yakni soal tata niaga. Pihaknya menyoroti ketidakadilan yang dialami pengusaha nikel nasional. Hal ini terkait dengan pemberian royalti dan PPh ore.
Meidy menjelaskan, ada dua jenis izin yang dikeluarkan untuk pertambangan nikel, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut.
"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri," kata Meidy, di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Sebagai informasi, selama ini ada empat perusahaan smelter besar pemilik IUI di Indonesia, yakni PT Sulawesi Mining Investment, PT Virtue Dragon Industry, PT Huadi Nickel Aloy, dan PT Harita Nickel.
2. Surveyor bodong
Dari permasalahan di atas, meluas ke permasalahan lembaga survei atau surveyor. Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut, dan juga uji kadar logam nikel.
Hasilnya, kata Meidy, terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara yang dilakukan surveyor yang ditunjuk pemerintah dengan yang ditunjuk pembeli.
"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.
Ia mengungkapkan, penurunannya bisa jauh, dari 1,8% bisa menjadi 1,5%, bahkan 1,3%. Ini tentu berpengaruh ke harga jualnya. Kata Meidy, bisa US$ 11-15 per ton.
"Jadi menurut kami, harus ada pengawasan pemerintah kepada pembeli juga, tidak hanya di penjual saja," tambahnya.
Foto: Produksi Bijih Nikel (ist)
|
3. Harga murah
Tentunya, dengan adanya perbedaan perhitungan kadar tersebut, memengaruhi harga jual bijih nikel di pasar domestik.
Pasalnya, lanjut Meidy, selama ini, apabila bijih nikel dijual ke pasar domestik, harganya bisa di bawah Harga Patokan Mineral (HPM). Terlebih, yang terjadi saat ini, kadar yang diminta oleh pembeli domestik adalah kadar tinggi, yakni di atas 1,8%.
Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.
"Tapi, harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000 per ton, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.
Harga yang rendah ini, menurut APNI, tidak terlepas dari adanya permainan kadar atau kartel yang dilakukan oleh pembeli domestik, dengan menggunakan lembaga survei yang bukan ditunjuk pemerintah Indonesia.
Foto: Produksi Bijih Nikel (ist)
|
4. Sedang bangun smelter dan terancam
Di sisi lain, lanjut Meidy, selama ini pengusaha nasional bergantung pada kuota ekspor.
"Kami diminta untuk melakukan penghiliran, boleh ekspor ore tapi harus bangun smelter, modalnya darimana? Dari ekspor," ungkap Meidy.
Lebih lanjut, Meidy menjelaskan, ibarat sedang membangun rumah, dengan liniwaktu 2017-2022, dan meminjam uang dari bank Rp 1 miliar, dengan perjanjian di 2022 uangnya akan dikembalikan. "Lalu, tiba-tiba pemerintah bilang setop bangun, apa yang terjadi?" imbuh Meidy.
"Inilah yang kami minta pemerintah untuk komitmen, karena kami sedang lakukan pembangunan modalnya itu dari (pendapatan) kuota ekspor," tambahnya.
5. Demi pendapatan negara
Selain itu, tambah Meidy, yang tidak kalah penting yakni demi pendapatan negara. Masih berkaitan dengan permasalahan tata niaga, selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut.
Padahal, jika IUI membayar royalti dan PPh, pemasukan negara akan lebih besar.
"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri."
"Saya yakin kok, kalau IUI dikenakan royalti dan PPh juga mereka pasti akan bayar, masalahnya adalah aturannya tidak ada. Kalau tidak ada aturan tapi mereka membayar, nanti dianggapnya menyogok kan," pungkas Meidy.
(gus/gus)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2TTMIGU
via IFTTT
No comments:
Post a Comment