Pages

Tuesday, November 19, 2019

Perang Dagang dan Risalah The Fed Bawa Rupiah Kembali Melemah

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (20/11/2019), dengan penguatan.

Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah menguat 0,04% ke level Rp 14.080/dolar AS. Sayang, dalam sekejap rupiah sudah berbalik arah ke zona merah. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,04% ke level Rp 14.090/dolar AS.

Jika depresiasinya bertahan hingga akhir perdagangan, maka rupiah akan resmi bertekuk lutut di hadapan dolar AS selama tiga hari beruntun.


Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga sedang melemah di hadapan dolar AS. Ada dua faktor utama yang memantik aksi jual atas mata uang negara-negara Asia.

Pertama, memudarnya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu. Kini, prospek ditekennya kesepakatan dagang tahap satu yang begitu dinanti-nantikan oleh pelaku pasar menjadi berwarna abu-abu.

CNBC International melaporkan bahwa pejabat pemerintahan China kini pesimistis terkait prospek kesepakatan dagang tahap satu. Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.

Pemberitaan tersebut lantas membuat mood pelaku pasar menjadi kurang mengenakan. Untuk diketahui, sebelumnya ada perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China.

Menurut kantor berita Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Liu He menggelar perbincangan via sambungan telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer pada akhir pekan kemarin terkait dengan kesepakatan dagang tahap satu, seperti dilansir dari CNBC International.

Xinhua melaporkan bahwa kedua belah pihak mengadakan diskusi yang konstruktif terkait dengan kekhawatiran di bidang perdagangan yang dimiliki masing-masing pihak. Kedua pihak disebut setuju untuk tetap berdialog secara intens. Xinhua juga melaporkan bahwa pembicaraan via sambungan telepon antar negosiator dagang tingkat tinggi dari AS dan China tersebut merupakan permintaan dari pihak AS.

Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing. Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.

Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.

Jika kesepakatan dagang tahap satu justru gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.

Hal ini pada akhirnya membuat dolar AS selaku safe haven laris manis.

Faktor kedua yang membuat dolar AS perkasa adalah rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Oktober 2019. Risalah tersebut dijadwalkan dirilis pada dini hari nanti (21/11/2019) waktu Indonesia.

Untuk diketahui, pada bulan lalu The Fed memutuskan untuk memangkas federal funds rate sebesar 25 bps ke rentang 1,5%-1,75%. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan rendahnya tingkat inflasi menjadi faktor yang mendasari keputusan tersebut. Pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu menandai pemangkasan yang ketiga di tahun 2019.

Namun, pasca mengumumkan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, The Fed memberi sinyal bahwa mereka akan menahan diri dari memangkas tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 19 November 2019, probabilitas The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di sisa tahun 2019 hanya berada di level 0,7%.

Dikhawatirkan, rilis risalah dari pertemuan edisi Oktober 2019 akan mengonfirmasi stance The Fed yang kini cenderung hawkish. Ketika The Fed cenderung memiliki stance yang hawkish, memang dolar AS akan mendapatkan suntikan energi untuk menguat.

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/344SppA
via IFTTT

No comments:

Post a Comment