Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang yen Jepang mengakhiri perdagangan Senin (2/8/19) dengan menguat tipis 0,08%, padahal di awal perdagangan melesat menguat cukup signifikan. Babak baru perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China tidak memicu aksi jual di bursa saham, sehingga yen tidak terlalu diburu pelaku pasar sebagai aset aman (safe haven).
Bursa utama saham Asia berakhir variatif pada Senin kemarin, indeks Nikkei yang melemah juga tidak terlalu tajam (-0,4%), indeks Shanghai Composite China malah berakhir menguat 1,31%. Bursa saham Eropa malah semuanya menghijau, sementara bursa saham AS libur pada Senin kemarin.
Pada hari ini, Selasa (3/9/19) pukul 7:28 WIB, yen berbalik melemah tipis 0,07%, diperdagangkan di kisaran 106,28/US$ di pasar spot, melansir daya Refinitiv.
Pada 1 September lalu, AS mulai mengenakan bea masuk 15% untuk importasi produk asal China senilai US$ 125 miliar di antaranya smartwatch, televisi layar datar, dan alas kaki. Sebelumnya, total produk China yang sudah terkena bea masuk di AS mencapai US$ 250 juta.
Sementara China mengenakan bea masuk 5-10% untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 75 miliar. Bea masuk baru ini mencakup 1.717 produk, termasuk minyak mentah. Ini adalah kali pertama minyak asal AS dibebani bea masuk di China.
Resmi berlakunya tambahan tarif impor tentunya membuat pertumbuhan ekonomi global terancam semakin melambat.
Tapi, data ekonomi China menunjukkan kejutan, indeks aktivitas manufaktur di bulan Agustus menunjukkan ekspansi. Data yang dirilis oleh Caixin tersebut menunjukkan angka indeks manajer pembelian (purchasing managers' index/PMI) sebesar 50,4, naik dari bulan sebelumnya 49,9.
Indeks PMI dari Markit menggunakan angka 50 sebagai batas, di bawah 50 berarti kontraksi atau aktivitas yang menurun sementara di atas 50 berarti ekspansi atau perusahaan-perusahaan manufaktur meningkatkan kegiatan usahanya.
Di tengah perang dagang yang kembali membara, ekspansi manufaktur tentunya menjadi kejutan, ini berarti ada permintaan yang cukup tinggi untuk produk-produk dari China. Hal tersebut membuat minat investor terhadap aset berisiko membaik, dan permintaan akan aset safe haven seperti yen berkurang.
TIM RISET CNBC INDOESIA
(pap)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2MSUjFa
via IFTTT
No comments:
Post a Comment