Angka ini naik 3,7% dibanding realisasi cost recovery 2017 senilai US$ 11,65 miliar. Berdasar paparan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soetjipto, angka ini memang fluktuatif sejalan dengan harga minyak di pasar global.
Dari besaran ongkos yang diganti pemerintah, Dwi mengklaim porsi alokasinya semakin baik dalam. Ini misalnya bisa dilihat dari sisi biaya eksplorasi dan development yang lebih besar dibanding 2017. Di mana masing-masing untuk eksplorasi 2018 terealisasi US$ 462 juta dan development US$ 1,07 miliar.
"Eksplorasi yang besar baik untuk masa depan, development juga besar. Kalau ini besar bagus di masa depan," kata Dwi, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa malam (10/9/2019).
Porsi terbesar di 2018 untuk cost recovery oleh KKKS masih untuk biaya produksi, artinya biaya praktis untuk menyedot migas dari dalam bumi.
Dwi mengklaim pihaknya telah melakukan efisiensi secara signifikan, bisa dilihat dari pembiayaan administrasi. Dimana pada 2015, realisasi pembiayaan adminsitrasi sebesar US$1.064 juta dan terus turun sampai 2018.
"Ini upaya-upaya yang kami lakukan untuk efisiensi. Efiensi akan terus ditingkatkan dan dijalankan. Ini yang kita harapkan ke depan," ujarnya.
Foto: Infografis/Cadangan Migas Indonesia/Edward Ricardo
|
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2ZMMNBL
via IFTTT
No comments:
Post a Comment