Kondisi baku ancam kedua negara justru berkontraksi di akhir pekan ketika China melakukan gertakan balik atau retaliasi, setelah pasar surat utang negara (SUN) ditutup.
Di sisi lain, sentimen positif pelonggaran moneter oleh bank sentral justru berimplikasi pada penguatan pasar obligasi rupiah sebelum penetapan kebijakan dan pada hari keputusan tersebut dibuat.
Data perdagangan Refinitiv menunjukkan harga mayoritas SUN seri acuan menguat dan menekan tingkat imbal hasilnya (yield) pada periode tersebut, terutama pada seri 10 tahun yang penurunan yield-nya paling besar di antara seri acuan lain.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield adalah acuan hasil investasi yang didapat investor yang juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan harga, kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi pemerintah Indonesia secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar tahun ini adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan 10 tahun yang paling menguat pada periode sepekan ini adalah FR0078 dengan penurunan yield 17,1 basis poin (bps) menjadi 7,24%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Ketika pasar SUN yang sudah menguat ditutup pada Jumat sore (23/8), pasar obligasi AS yang masih bergerak hingga Sabtu pagi WIB justru menguat kencang karena adanya kekhawatiran perang dagang AS-China yang memanas akibat ancaman balasan Negeri Tirai Bambu terhadap potensi pengenaan tarif impor barang AS.
Ketegangan itu ditambah dengan memanasnya hubungan AS-Perancis yang saling ancam terkait dengan pengenaan pajak oleh pemerintah Negeri Menara Eiffel terhadap perusahaan teknologi informasi AS, salah satunya Google. Langkah itu langsung membuat berang Presiden AS Donald Trump yang menjawab aksi itu dengan mengenakan tarif pada barang-barang Perancis yang masuk ke negaranya, terutama produk minuman anggur.
Ketegangan membuat pasar obligasi AS, yang instrumennya menjadi salah satu produk yang dianggap lebih aman (safe haven instrument), menguat kencang.
Sentimen negatif tersebut kemungkinan baru akan berdampak pada pasar keuangan domestik pada awal pekan depan, baik di pasar ekuitas maupun pasar obligasi yang masih dianggap sebagai instrumen yang lebih berisiko dibandingkan negara lain.
Apresiasi pasar obligasi pemerintah sepekan ini juga tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) menguat. Indeks tersebut naik 1,81 poin (0,7%) menjadi 259,99 dari posisi pekan lalu 258,17.
Penguatan SBN selama sepekan juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa menjadi 572 bps, menyempit dari posisi sebelumnya 587 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 1,52% dari posisi pekan lalu 1,54%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada beberapa pasang seri, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, serta tenor 2 tahun-10 tahun yang sempat terjadi dua kali bulan ini. Inversi kedua pasang seri itu adalah indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang. Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 23 Aug'19 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 16 Aug'19 (%) | Yield 23 Aug'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 1.894 | 1.971 | 3 bulan-5 tahun | 55.7 |
UST 2020 | 2 Tahun | 1.513 | 1.531 | 2 tahun-5 tahun | 11.7 |
UST 2021 | 3 Tahun | 1.457 | 1.451 | 3 tahun-5 tahun | 3.7 |
UST 2023 | 5 Tahun | 1.437 | 1.414 | 3 bulan-10 tahun | 43.8 |
UST 2028 | 10 Tahun | 1.545 | 1.533 | 2 tahun-10 tahun | -0.2 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data terakhir Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.008 triliun SBN, atau 38,46% dari total beredar Rp 2.621 triliun berdasarkan data per 22 Agustus. Angka kepemilikannya masih positif Rp 113,59 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Sejak akhir pekan lalu, investor asing tercatat masuk ke pasar SUN senilai Rp 3,24 triliun. Penguatan di pasar surat utang sepekan terakhir juga terjadi pada rupiah di pasar valas, yang naik tipis 0,14% menjadi Rp 14.210 per dolar AS, sedangkan pasar saham terkoreksi 0,49% menjadi 6.255. Dari pasar surat utang negara lain, koreksi terjadi di hampir seluruh pasar di mana penguatan hanya terjadi di Amerika Serikat, Jepang, Rusia, dan Afsel.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 16 Aug'19 (%) | Yield 23 Aug'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 7.245 | 7.26 | 1.50 |
China | 3.03 | 3.07 | 4.00 |
Jerman | -0.709 | -0.678 | 3.10 |
Prancis | -0.424 | -0.381 | 4.30 |
Inggris | 0.454 | 0.474 | 2.00 |
India | 6.533 | 6.564 | 3.10 |
Jepang | -0.232 | -0.234 | -0.20 |
Malaysia | 3.202 | 3.367 | 16.50 |
Filipina | 4.4 | 4.475 | 7.50 |
Rusia | 7.32 | 7.19 | -13.00 |
Singapura | 1.688 | 1.8 | 11.20 |
Thailand | 1.47 | 1.545 | 7.50 |
Amerika Serikat | 1.545 | 1.533 | -1.20 |
Afrika Selatan | 8.38 | 8.275 | -10.50 |
TIM RISET CNBC INDONESIA (irv/irv)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Zm3zTP
via IFTTT
No comments:
Post a Comment