Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 berbunyi bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Garam adalah salah komoditas pangan strategis di Indonesia, sampai-sampai mendapat perlakuan khusus tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Indonesia adalah negara net importir garam, khususnya untuk garam industri. Padahal Indonesia merupakan negara dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia. Sutrisno Iwantono, eks Ketua KPPU, menilai bahwa putusan Komisi untuk membebaskan perusahaan importir garam adalah preseden yang baik. Namun, bukan berarti tidak ada masalah di industri garam nasional. Seperti apa pandangan Iwantono? Berikut petikan wawancaranya dengan CNBC Indonesia: Bagaimana pendapat Anda tentang putusan KPPU mengenai kartel garam?Menurut saya KPPU telah memutuskan secara adil dan bertindak profesional. Artinya kalau memang argumen dan alat bukti tidak kuat, maka mereka berani menyatakan Terlapor yaitu tujuh perusahaan pengimpor garam tidak melanggar ketentuan kartel. Padahal perkara ini adalah inisiatif KPPU, di mana yang bertindak selaku Pelapor adalah investigator KPPU sendiri. Mudah-mudahan ini preseden baik, yaitu adanya pemisahan antara fungsi penuntutan dan fungsi Hakim. Di samping dugaan pelanggaran adalah Pasal 11 UU No 5/1999 merupakan pasal yang bersifat rule of reason, bukan pasal perse. Sehingga pembuktian dampak ekonomi diperlukan, yaitu apakah telah terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Diperlukan bukti-bukti ekonomi yang kuat untuk membuktikan pelanggaran terhadap pasal itu. Apakah memang alat buktinya lemah?
Saya tidak tahu persis alat buktinya. Sebagaimana pernah saya kemukakan beberapa waktu lalu, dan berdasarkan data-data yang tersedia di publik bahwa industri garam merupakan salah satu industri yang sifatnya regulated, sangat diatur oleh ketentuan pemerintah. Industri yang sifatnya regulated menandakan bahwa mekanisme pasar tidak sepenuhnya berjalan, sebagai konsekuensi banyaknya campur tangan pemerintah. Dalam kasus garam bahwa impor itu diatur oleh pemerintah, yakni adanya pembagian kuota bagi para importir. Dengan demikian maka supply garam di pasar tidak ditentukan oleh para Terlapor, sehingga wajar jika KPPU menyatakan tidak ada unsur mempengaruhi harga oleh para Terlapor, yakni dengan mengatur produksi dan pemasaran garam. Pasal 11 UU No 5/1999 itu esensinya adalah mengatur atau mempengaruhi harga di pasar melalui pengaturan produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa oleh para pelaku usaha yang bersaing secara horizontal di pasar bersangkutan yang sama. Apakah kalau seperti itu berarti tidak ada masalah dalam industri garam kita?
Ya tidak berarti begitu. Fluktuasi harga garam sangat tajam, dan problem sekarang adalah harga yang diterima petani terlalu rendah, karena berbagai faktor, misalnya karena kualitasnya rendah, gagal panen, dan lain-lain. Ini domainnya pemerintah, bukan menjadi ruang lingkup pekerjaan KPPU.
Namun demikian jika ditemukan dimensi persaingan yang tidak baik dan itu bersumber dari kebijakan pemerintah, maka KPPU masih memiliki fungsi untuk memberikan saran pertimbangan atas hal tersebut.
KPPU, menurut saya, masih dapat menggunakan fungsi tersebut, rekomendasi saran pertimbangan kepada pemerintah. Dalam hal ini, seyogianyalah pemerintah merespons dengan baik dan dilakukan pembahasan yang mendalam sehingga dapat ditemukan jalan keluar yang menguntungkan masyarakat luas. Jadi fungsi KPPU tidak semata-mata penegakan hukum?Fungsi pencegahan sama pentingnya dengan penegakan hukum. Lebih baik kita mencegah orang untuk tidak berbuat jahat dari pada menangkapi penjahat yang jumlahnya mungkin tidak terbatas. Fungsi pencegahan di antaranya adalah untuk tujuan agar terjadi perubahan perilaku dalam berbisnis, dari yang tidak sehat menjadi lebih sehat. Terus terang, masyarakat belum sepenuhnya paham tentang aspek teknis undang-undang persaingan usaha. Banyak yang tidak mengerti tindakan apa yang boleh dan tindakan apa yang tergolong pelanggaran. Namun demikian pelaku usaha juga tidak boleh berlindung dengan argumen tidak tahu, undang-undang ini sudah lama di undangkan, jadi pelaku usaha wajib tahu. Pelaku usaha juga harus memperbaiki diri. Saya selalu sarankan agar masing-masing perusahaan, terutama yang besar-besar, mesti memiliki code of conduct persaingan usaha sebagai rambu-rambu bagi manajemen dalam menjalankan usahanya. (aji/aji)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2ylen9R
via IFTTT
No comments:
Post a Comment