Silmy menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk mendorong baja dalam negeri dengan menyajikan level persaingan usaha (playing field) yang sehat di pasar, dan tidak ada kecurangan atau manipulasi.
"Kita dalam menghadapi situasi ini harus realistis, enggak bisa memaksakan mau kita apa. Ekonomi pasar sudah terjadi, supaya menang harus punya daya saing, kita [baja nasional] akan ditolong level playing field [lapangan usaha] yang sama," kata Silmy kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
"Pelaku industri meminta tidak ada kecurangan, ini berproses, ini PR bersama, bagaimana menentukan masa depan industri baja Indonesia, arena ini enggak cuma baja, bisa juga beberapa industri lain," kata mantan CEO Barata Indonesia ini.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk ikut mengawasi impor baja yang selama ini terjadi. Hal ini penting lantaran praktik yang terjadi oleh para eksportir saat ini cenderung merugikan baja lokal.
Selama ini yang terjadi ialah, baja China bisa murah karena pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor. Besarannya yakni 10-13%. Artinya, produk mereka kata Silmy sudah lebih kompetitif.
"Ketika [baja China] masuk ke Indonesia, harusnya dapat bea masuk 15%, tapi mengaku produk tersebut alloy steel [baja paduan], menambahkan satu unsur yang bisa masuk kategori alloy sehingga dia dapat bea masuk dari Indonesia."
Sebagai informasi, baja paduan bebas bea masuk karena Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan. "Ini belum ditambah subsidi-subsidi. Makanya ini jadi PR kita. Betul ada Industri 4.0, tapi ada hal masif yang bisa kita dorong, kita butuh pertumbuhan industri yang di atas pertumbuhan ekonomi. Ini pernah terjadi di zaman Soeharto, kita harapkan ini industri jadi motor pertumbuhan ekonomi ke depan," katanya.
Menurut dia, strategi memproyeksi baja nasional yang dilakukan China sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia tepat dengan menjaga industri dalam negerinya.
China, menurut dia, memproduksi hingga 1 miliar ton per tahun, sementara produksi Indonesia sekitar 7 juta. Selain itu, dengan pasokan dalam negeri yang berlebih (over supply), China memang menerapkan beberapa taktik yang dinilai sah-sah saja.
Beberapa strategi yang dilakukan bisa dengan safeguard (tindakan pengamanan), bea masuk anti-dumping, dan kebijakan non-tarif barrier.
Dumping adalah ekspor barang dengan harga yang lebih rendah di negara tujuan, dari harga yang seharusnya di pasar domestik.
Adapun non-tarif adalah tindakan negara yang ditujukan untuk menghalangi masuknya barang impor melalui berbagai kebijakan yang bukan tarif bea masuk.
Simak lengkapnya dalam talkshow dengan Silmy di CNBC Indonesia.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2GtcYT1
via IFTTT
No comments:
Post a Comment