Pages

Sunday, November 17, 2019

Utang Global Tembus Rp 3,5 Juta T, Siapa Tertinggi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tingkat utang global mencapai rekor tertinggi pada paruh pertama tahun ini. Dengan total senilai US$ 250 triliun atau sekitar Rp 3,5 juta triliun (estimasi kurs Rp 14.000/dolar).

Kenaikan itu diakibatkan melonjaknya pinjaman di berbagai negara, di mana yang paling tinggi adalah Amerika Serikat dan China, menurut laporan yang dirilis oleh International Institute of Finance (IIF).


Laporan itu menyebut utang global melonjak US$ 7,5 triliun dalam enam bulan pertama tahun 2019. Jumlah keseluruhan mencapai US$ 250,9 triliun pada akhir periode ini, dan akan melebihi US$ 255 triliun pada akhir 2019.

"China dan AS menyumbang lebih dari 60% kenaikan. Demikian pula, utang negara berkembang (emerging market/EM) juga mencapai rekor baru US$ 71,4 triliun (220% dari PDB). Dengan beberapa tanda perlambatan dalam laju akumulasi utang, kami memperkirakan bahwa utang global akan melampaui US$ 255 triliun tahun ini," kata IIF dalam laporan tersebut.

Meningkatnya utang di seluruh dunia telah menjadi perhatian besar bagi investor dan sejumlah ekonom telah mengatakan bahwa rekor-rekor baru akan tercipta.

Mengutip CNBC International, meningkatnya utang global salah satunya disebabkan oleh suku bunga rendah yang membuat sangat mudah bagi korporasi dan penguasa untuk meminjam lebih banyak uang.

"Namun, dengan semakin berkurangnya ruang lingkup pelonggaran moneter lebih lanjut di banyak bagian dunia, negara-negara dengan tingkat utang pemerintah yang tinggi (Italia, Lebanon), serta negara-negara di mana utang pemerintah tumbuh dengan cepat (Argentina, Brasil, Afrika Selatan, dan Yunani ), mungkin akan lebih sulit untuk beralih ke stimulus fiskal," kata laporan IIF.

Dana Moneter Internasional (IMF) bulan lalu meningkatkan peringatan tentang tingginya tingkat utang perusahaan berisiko, yang telah diperburuk oleh suku bunga rendah yang terus-menerus diberikan oleh bank sentral. IMF memperingatkan bahwa hampir 40%, atau sekitar US$ 19 triliun, utang korporasi di negara-negara ekonomi utama seperti AS, China, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Spanyol berada pada risiko gagal bayar jika penurunan ekonomi global terus berlanjut.

Namun, bank sentral AS sepertinya tidak terlalu khawatir dengan meningkatnya jumlah utang ini. Pada hari Kamis, Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengatakan dia tidak melihat tanda-tanda adanya gelembung atau bahaya langsung yang ditimbulkan oleh defisit senilai triliunan dolar itu.

"Jika Anda melihat ekonomi hari ini, tidak ada yang benar-benar menunjukan tanda-tanda akan hancur," kata Powell dalam kesaksian di depan Komite Anggaran DPR. "Dengan kata lain, ini adalah gambaran yang cukup berkelanjutan."

Namun, laporan dari IIF memberikan gambaran yang berbeda. Dalam laporan disebutkan bahwa utang pemerintah global akan mencapai US$ 70 triliun pada 2019, naik dari US$ 65,7 triliun pada 2018, didorong lonjakan utang federal AS.

"Peningkatan besar dalam utang global selama dekade terakhir, lebih dari US$ 70 triliun, telah didorong terutama oleh pemerintah dan sektor korporasi non-finansial (masing-masing naik sekitar US$ 27 triliun). Untuk pasar yang sudah maju, kenaikan terutama terjadi pada utang pemerintah umum (naik US$ 17 triliun menjadi lebih dari US$ 52 triliun). Namun, untuk pasar negara berkembang, sebagian besar kenaikannya adalah utang perusahaan non-finansial (naik US$ 20 triliun menjadi lebih dari US$ 30 triliun)."

IIF menyebut kenaikan tingkat utang juga disebabkan oleh peningkatan di pasar obligasi global. Pasar obligasi global meningkat dari US$ 87 triliun pada 2009 menjadi lebih dari US$ 115 triliun pada pertengahan 2019. Pertumbuhan itu sebagian besar terlihat di pasar obligasi pemerintah, yang sekarang mencakup 47% dari pasar obligasi global dibandingkan dengan 40% pada tahun 2009.

"Sektor obligasi telah tumbuh paling cepat di pasar negara berkembang, membengkak lebih dari US$ 17 triliun hingga mendekati US$ 28 triliun sejak 2009," kata laporan itu.

Pasar obligasi pemerintah global, terutama yang disebut aset safe-haven seperti Treasury AS akhir-akhir ini sangat ramai diburu karena investor ingin menyelamatkan uangnya dengan menyimpannya ke aset yang lebih aman. Ini dilakukan di tengah tingginya ketidakpastian global seperti Brexit, perlambatan pertumbuhan global dan penyelidikan impeachment Presiden Donald Trump di AS.

[Gambas:Video CNBC]

(sef/sef)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2XmhAS6
via IFTTT

No comments:

Post a Comment