Keputusan memberlakukan rencana tersebut dianggap semakin mempertegas stigma sejumlah pihak yang menganggap bahwa otoritas pajak bagaikan berburu di 'kebun binatang' dalam mengejar kewajiban perpajakan.
"Menurut saya ini suatu rencana yang blunder," kata Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Kamis (28/11/2019).
Bhima mempertanyakan data-data hasil program pengampunan pajak yang seharusnya bisa dipergunakan fiskus untuk mengejar kewajiban perpajakan kelas kakap. Namun, yang dikejar justru wajib pajak yang selama ini patuh.
"Kenapa gak follow up data-data mereka yang tidak ikut tax amnesty? Ataudata hasil informasi perpajakan yang katanya sudah ada di tangan pemerintah. Kenap itu gak di follow up?," kata Bhima.
"Jadi bukan berburu di kebun binatang gini. Kalo gini akan blunder ke ekonomi. Akan membuat takut deposan dan ganggu likuiditas perhankan apalagi di 2020, konteks likuiditas ketat. Jangan bikin kebijakan tanpa ada kajian,"
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Piter Abdullah memandang, langkah yang akan dilakukan pemerintah justru seperti 'gelagapan' karena melihat target penerimaan pajak yang terlampau tinggi.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta Ditjen Pajak secara khusus memberikan sejumlah kelonggaran pajak, mulai dari penurunan Pajak Penghasilan (PPh) hingga penurunan bebas dividen.
"Ini seperti kepepet dikejar target. Ini nggak konsisten. Di saat mereka memberikan diskon, tapi target penerimaan pajak tinggi," katanya.
Kinerja penerimaan pajak periode Januari - Oktober 2019 agak mengkhawatirkan. Penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 tercatat Rp 1.173,9 triliun, baru 65,7% dari target dalam APBN 2019.
Khusus penerimaan pajak sendiri, hingga 31 Oktober 2019 telah terealisasi Rp 1.018,47 triliun atau hanya mencapai 64,56% dari target sebesar Rp 1.577,56 triliun di APBN 2019.
Dengan capaian ini, maka kurang dari dua bulan, DJP masih harus mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 559,09 triliun hingga akhir tahun ini.
"Ini akibat tidak konsistennya Kementerian Keuangan. Di satu sisi memberikan kelonggaran, di sisi lain target ditingkatkan," katanya.
Piter menilai, keputusan DJP menyasar pemilik dana di atas Rp 1 miliar justru salah sasaran. Menurutnya, nasabah kelas atas tidak akan menempatkan dananya di perbankan nasional.
"Nanti justru yang tidak patuh makin sembunya, yang dikejar yang patuh. Yang gak patuh gak ada di Indonesia," jelasnya.
Bukan tidak mungkin, sambung Piter, rencana menyasar nasabah di atas Rp 1 miliar akan membuat rencana pemerintah meningkatkan konsumsi maupun investasi menjadi terhambat.
"Mereka gak nyaman konsumsi dan investasi. Kita paham sih kejar target; tapi jangan ganggu kenyamanan," jelasnya.
(sef/sef)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/35DorJQ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment