Ini bermula saat, mantan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menyampaikan pernyataan mengejutkan dalam pidato selepas serah terima jabatan (Sertijab) Menteri Pertanian, Jumat pekan lalu. Amran mengingatkan soal adanya data 'mafia' di sektor pertanian.
"Kemarin data yang diambil BPS (Badan Pusat Statistik) dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) disahkan, dan setelah dikroscek tim lembaga ternyata 92% sampel yang diambil salah. Kalau ini terjadi karena anggarannya sudah diketuk, nanti dampaknya tahun 2021. Pupuknya tidak disalurkan 600.000 hektare. Kalau itu terjadi, 2 juta orang tidak kebagian pupuk subsidi," katanya.
Amran mencontohkan, di Banyuasin, Sumatera Selatan. Menurutnya, luas baku sawah di sana mencapai 9.700 hektare. Namun, citra satelit Kerangka Sampel Area (KSA) yang dipakai oleh BPS menyatakan nol.
"Memang selalu ada dua data yang muncul, satu data pertanian (Kementan), satu data mafia. Aku katakan apa adanya. Kalau data ini dipersempit, tidak mendapatkan pupuk, produksi turun, impor yang masuk," kata Amran.
Isu perbedaan data pertanian sudah terjadi menahun antara Kementan dan BPS, padahal data menjadi basis penting dalam menentukan keputusan. Tidak semata menyangkut alokasi pupuk subsidi, data pertanian juga mempengaruhi kebijakan penentuan tata niaga dan impor di sektor perdagangan.
Dalam pidatonya, Amran mengungkit kembali dugaan adanya data 'mafia' di Pertanian. Tercatat, kasus terkait mafia pangan yang ditangani Tim Satgas Polri mencapai 784 kasus, di antaranya 22 kasus hortikultura, 13 kasus pupuk, 27 kasus ternak, 66 kasus beras dan selebihnya kasus lain. Sebanyak 411 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Memang selalu ada dua data yang muncul, satu data pertanian (Kementan), satu data mafia. Aku katakan apa adanya. Kalau data ini dipersempit, tidak mendapatkan pupuk, produksi turun, impor yang masuk," kata Amran.
Pernyataan Amran menjadi perbincangan. Sehari setelah Sertijab, BPS mengunggah postingan berjudul 'Sabtu Bersama Data Padi' di akun Instagram, Sabtu (26/10/2019).
Lewat postingan itu, BPS mengatakan ketidakakuratan data produksi padi di Indonesia diduga memang sudah terjadi sejak lama. Studi BPS bersama Japan Internasional Coorporation Agency (JICA) pada 1998 mengisyaratkan over estimasi luas panen sekitar 17,07%.
"Tetapi BPS tidak tinggal diam dan saling menyalahkan. Demi #MencatatIndonesia, BPS terus berupaya untuk memperbaiki metode perhitungan produksi padi," tulis BPS di akun Instagram.
Lebih lanjut, BPS mengatakan akan bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), didukung Kementerian ATR/BPN, BIG, LAPAN, untuk berupaya memperbaiki metodologi dengan menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
Secara ilmiah, statistik memang tidak dapat merangkum akurat 100%. Kepala BPS Suhariyanto, mengatakan akan ada margin error dengan rentang 1-2% yang masih dapat diterima.
Ia membantah jika terdapat kesalahan sampel penelitian mencapai 92% dalam rilis luas baku sawah sebagaimana diungkapkan Amran.
"Nggalah. Ngga mungkin sampai 92%, keliru itu. Kita 7,1 juta [hektare] luas lahan baku sawah yang terakhir dari 7,8 [juta hektare] yang sekarang kita kalibrasi. Andai kata, 100.000 [hektare] ngga sampai 2%. Kalau 92%, ngga mungkinlah," kata Suhariyanto kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/10/2019).
Ia mengatakan, BPS tidak bekerja sendiri dalam merilis luas baku lahan sawah. Ada keterlibatan Kementerian ATR/BPN bekerja sama dengan BIG dan LAPAN. Hal ini sekaligus membantah keterkaitan BPS dengan dugaan data 'mafia' pertanian.
"BPS terjun ke lapangan di mana koordinatnya kita kunci pakai HP supaya ngga bisa berdusta dan seterusnya," ucap Suhariyanto. (hoi/hoi)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2PEr1L3
via IFTTT
No comments:
Post a Comment