Hal ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot.
"Kami sudah tanda tangan Permen ESDM mengenai yang intinya penghentian untuk insentif ekspor bijih nikel bagi pembangunan smelter per tanggal 1 Januari 2020," ujar Bambang di Kementerian ESDM, Senin (2/9/2019).
Salah satu alasannya adalah karena untuk menjaga cadangan dan juga mempertimbangkan banyaknya smelter nikel yang mulai beroperasi di Indonesia. "Karena smelter nikel sudah banyak, maka pemerintah ingin mempercepat dan bergerak mengambil inisiatif menghentikan ekspor nikel untuk segala kadar kualitas."
Bambang menyebutkan, pihaknya mencatat, cadangan terbukti untuk komoditas nikel nasional sebesar 698 juta ton, dan hanya dapat menjamin pasokan bijih nikel bagi fasilitas pemurnian selama 7-8 tahun.
Dengan umur cadangan tersebut, belum dapat memenuhi umur keekonomian fasilitas pemurnian atau smelter.
"Sehingga pemerintah perlu mengambil langkah berupa kebijakan baru, yakni penghentian rekomendasi ekspor bijih nikel kadar rendah, yang berlaku mulai awal tahun depan," ujar Bambang.
Lebih lanjut, ia mengatakan, memang terdapat cadangan terkira komoditas nikel nasional sebesar 2,87 miliar ton. Namun, masih memerlukan peningkatan faktor pengubah seperti kemudahan akses perizinan, dan keekonomian (harga) untuk membuat cadangan terkira menjadi cadangan terbukti, sehingga nantinya dapat memenuhi kebutuhan smelter selama 42 tahun.
"Maka, atas dasar tersebut, segala sesuatu yang berhubungan dengan ekspor raw material nikel, akan berakhir pada 31 Desember 2019. Untuk yang sudah dapat izin bangun smelter, kalau tidak berhubungan dengan insentif raw material ya silakan jalan saja," tutur Bambang.
"Kami beri kesempatan, untuk yang sudah dapat izin, tetap berlakukan (izinnya) sampai 1 Januari 2020, itu batasnya," tambahnya.
Bambang juga mengatakan alasan pemerintah melakukan percepatan larangan tersebut berdasar beberapa pertimbangan.
Pertama adalah bijih nikel dengan kadar rendah sudah bisa diolah di dalam negeri, karena perkembangan teknologi yang sudah maju. Apalagi menurutnya nikel dapat digunakan untuk bahan baku komponen mobil listrik.
Pertimbangan lainnya adalah pembangunan smelter nikel yang pesat beberapa tahun belakangan ini membutuhkan pasokan nikel cukup tinggi dari dalam negeri. "Jadi kami ingin lakukan proses pengolahan nikel kadar rendah, antara lain cobalt dan lithium," imbuhnya.
Sebagai tindak lanjut dari pelarangan ini, Bambang juga menjawab pertanyaan seputar tata niaga industri nikel yang sempat dikeluhkan oleh penambang. Terutama soal harga yang di bawah pasar, dan praktik surveyor "bodong".
Bambang menjelaskan, soal pembelian harga nikel dalam negeri harus mengacu pada Harga Mineral Acuan (HMA) yang terbit setiap bulan.
"Itu harus diacu para pihak, ini yang bilang harganya terlalu rendah siapa? Kemarin saya ketemu smelter katanya tidak seperti itu, ini yang kita sedang beresin juga. Kami minta narsum masing-masing bertemu, biar bicara yang benar. Kemarin saya ketemu Smelter dia bilang tidak beli segitu kok," katanya.
Peran pemerintah tidak sampai ke bisnis, karena itu business to business para pelaku usaha. Tapi, pemerintah ingin tahu dan memastikan bahwa praktik bisnis mereka berkembang baik agar sama-sama untung. "Demikian juga smelter, harus untung, itu B2B silakan saja, tapi menteri kan kasih HMA itu yang harus diacu. Kalau tidak, yang dirugikan pemerintah,".
(sef/sef)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2LfAu8F
via IFTTT
No comments:
Post a Comment