Sampai saat ini, para pengusaha batu bara menilai kondisi perpajakan Indonesia belum sepenuhnya menarik investasi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menjelaskan, saat ini untuk tambang batu bara generasi pertama bahkan masih dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga 45%.
"Untuk generasi pertama, sebanyak 7 perusahaan dan produksinya itu bisa dibilang sama dengan separuh dari produksi batu bara nasional," kata Hendra, saat berbincang dengan CNBC Indonesia, pekan lalu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, kontrak-kontrak generasi pertama ini kebanyakan akan berakhir pada 2025 mendatang. Untuk kontrak generasi berikutnya memang sistem pajaknya sudah menggunakan sistem prevailing, yang artinya mengikuti ketentuan yang berlaku.
Tidak ingin mendapat kebijakan yang sama, para pengusaha dan pemangku kepentingan sebenarnya sudah melakukan pembahasan dan menanti adanya kepastian dengan regulasi baru. Setidaknya ada dua aturan yang diharapkan bisa dirampungkan pemerintah untuk kepastian usaha 7 tambang ini.
"Pertama revisi PP 23 tahun 2010 yang tertunda karena surat Menteri BUMN, lalu kedua PP-nya sendiri soal aturan perpajakan," jelasnya.
Menurut Hendra, beban pungutan pajak dan lainnya yang ditanggung oleh tambang batu bara generasi satu jika dihitung secara keseluruhan bisa mencapai 65% hingga 70%. "Kami menyebutnya sebagai efektif tax rate, jadi dari pendapatan yang kami terima sekitar 65% sampai 70% masuk pemerintah," jelasnya.
Meski begitu, dengan efektif tax rate yang termasuk di dalamnya pajak, royalti, dan pungutan lainnya baik di pusat maupun daerah, tambang batu bara masih bisa perform di Indonesia.
"Kami cuma mengharapkan ke depan itu lebih pasti saja regulasinya dan sifatnya jangka panjang, agar perusahaan bisa menghitung juga. Kami paham penerimaan negara harus lebih besar, tapi perlu kompetitif juga di sektor usahanya," pungkas Hendra. (hps/hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2IcJrht
via IFTTT
No comments:
Post a Comment