Pages

Thursday, September 26, 2019

Aturan di RI Ribet Bukan Main Bisa Bikin Pening

Jakarta, CNBC Indonesia - Internal pemerintah mengakui persoalan kerumitan aturan di Indonesia masih jadi momok yang belum terselesaikan. Di sisi lain masalah perizinan yang rumit dari aturan yang ribet juga makin merugikan posisi Indonesia dalam bersaing dengan negara lain dalam memperebutkan arus investasi masuk untuk menggerakkan ekonomi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution angkat bicara soal ruwetnya aturan perizinan yang kerap kali dikeluhkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa waktu terakhir.

Salah satu pangkal masalahnya, yaitu penyerahan kewenangan perundang-undangan kepada pemerintah daerah maupun kepada para menteri. Padahal, seharusnya hal ini berada di bawah langsung kendali presiden.

"Izin itu pelaksanaannya dari kewenangan presiden, sebagai kepala pemerintahan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Rabu (25/9/2019).

Ia mencontohkan Undang-Undang (UU) 23/2014 tentang pemerintah daerah. Dalam payung hukum tersebut, ada sejumlah kewenangan yang disentralisasikan kepada pemerintah daerah. Keruwetan ini, tak hanya soal kewenangan di internal pemerintah, tapi terasa sampai diimplementasikan di lapangan termasuk perizinan di daerah.
 
Kalangan pengusaha juga mengakui keruwetan dalam perizinan berusaha termasuk di daerah. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, membeberkan sejumlah perizinan yang harus diselesaikan pengusaha ketika akan membuka pabrik di daerah. Mereka harus pusing 'tujuh keliling' menghadapi ribetnya perizinan.

"Untuk mendirikan pabrik di daerah itu perlu izin lokasi. Izin lokasi ini punya syarat, yaitu izin tetangga. Radius (pabrik dan pemukiman) 1 km," kata Ade kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/9/2019).

Untuk mendapat izin tetangga, Ade mengatakan pengusaha diharuskan untuk mendapat semua tandatangan warga. Ini menjadi kendala lantaran pengusaha perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

"Kalau tanda tangan seluruh warga, Anda tahu sendiri biayanya akan membengkak karena tidak ada yang gratis," tambahnya.

Selanjutnya, pengusaha harus memperoleh izin gangguan (Hinderordonnantie/HO), izin dari RT/RW dan Kelurahan. Setelah itu, izin lokasi baru bisa diproses.

"Tentu lokasinya itu sendiri harus memenuhi tata ruang (RTRW), kalau di luar RTRW, sudah pasti ditolak walaupun kita sudah memiliki izin yang lengkap," ucap Ade.

Setelah itu, pengusaha akan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), sertifikat laik fungsi (SLF) yang berbiaya besar, izin industri, izin perdagangan, izin pembuangan limbah, izin petir, izin limbah B3, dan izin untuk wanita yang bekerja di malam hari.

Perizinan semacam ini, kata Ade, hampir terjadi di semua Kabupaten dan Kota. Mayoritas pabrik tekstil berdiri di Pulau Jawa, sebagian di Pulau Sumatera.

"Sebetulnya, izin-izin itu asalnya rekomendasi, cuma diubah menjadi izin. Kalau rekomendasi kan hanya secuil kertas, tidak perlu macam-macam," katanya

(hoi/hoi)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2luSJgx
via IFTTT

No comments:

Post a Comment