Pages

Sunday, August 18, 2019

Kali ini, Pertaruhan Masa Depan Perang Dagang Ada di Huawei

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia tercatat menguat pada perdagangan akhir pekan lalu di tengah ancaman resesi akibat perang dagang yang berlaur-larut. Hari ini, pelaku pasar bakal memantau sejauh mana api perang dagang akan berkobar setelah Huawei resmi dikenai sanksi.

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,07% dan ditutup di level 6.286,657. Meski hanya menguat tipis, IHSG merupakan satu dari dua indeks saham utama Benua Asia yang menguat di tengah terpaan sejumlah sentimen negatif terkait perekonomian global.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,1%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga mampu bertahan di tengah tekanan bursa global sepekan yang lalu.

Untuk menyegarkan ingatan, IHSG sempat tertekan di awal-awal perdagangan pada Jumat (16/8/2019) pekan lalu, tetapi kemudian sukses berbalik menguat pada perdagangan sesi ke-2 menyambut pidato nota keuangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintah pada tahun 2020 menyusun asumsi makro ekonomi yang lebih realistis dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3% alias tidak berubah dari target yang dipatok pada R-APBN 2019. Konsumsi dan investasi akan digenjot sehingga membuat saham sektor konstruksi, farmasi, dan konsumer menguat.


Bersamaan dengan itu, sentimen positif dari Amerika Serikat (AS) juga menyeruak di mana inversi yield pada obligasi pemerintah AS bertenor 2 dan 10 tahun sudah tidak terjadi lagi. Yield obligasi jangka pendek kembali terkendali dan tidak lagi melampaui yield jangka panjang sehingga membentuk kurva inversi (inverted yield curve).

Kali terakhir yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun yakni pada 2007, meletus krisis keuangan global. Oleh karena itu, wajar jika investor khawatir dengan pola yang terbentuk ini.

Namun dengan menghilangnya inversi seperti timbul tenggelamnya air pasang di laut, pelaku pasar pun mencerna bahwa yang terjadi saat ini adalah kekhawatiran terkait yang dipicu oleh ketidakpastian yang bersifat sementara atau politisi. Pemicunya apalagi jika bukan perang dagang.

Betul bahwa ada sinyal pertumbuhan ekonomi di China melambat ke titik terendahnya dalam 27 tahun, yakni 6,2% per kuartal II-2019. Demikian juga output industri Jepang pada Juni yang turun 3,8% YoY, lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yaitu minus 2,1% YoY.

Namun, hal itu terjadi karena kebijakan politik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengobarkan perang tarif terhadap mitra dagang utamanya, terutama China, yang diikuti negara lain seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan India.

Hingga kini, Washington dan Beijing masih mengupayakan negosiasi, sehingga tombol untuk "membatalkan" risiko resesi sejatinya ada di tangan politisi-politisi tersebut. Tiap kali ada kabar dan sinyal positif terkait damai dagang, maka kurva inversi obligasi pemerintah AS pun lenyap bagai debu tertiup angin.

Ini yang membedakan situasi kurva inversi yang terjadi pada 2007, tatkala pemodal memburu obligasi jangka panjang setelah secara fundamental terjadi problem likuiditas di pasar subprime mortgage loan AS dalam skala yang besar.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(ags)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/31SP1gl
via IFTTT

No comments:

Post a Comment