Pages

Monday, August 19, 2019

Dari China hingga AS, Mereka Berlomba Suntikkan Stimulus

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia menguat pada perdagangan Senin (19/8/2019) setelah api perang dagang sedikit meredup dengan tenggat bagi Huawei untuk terus bertransaksi dan bekerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat (AS).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,16% ke 6.296,72 meski sempat tergelincir ke zona merah pada tengah hari seiring dengan aksi jual investor asing dengan nilai jual bersih (net sell) senilai Rp 96 miliar di pasar reguler.

Kinerja IHSG ini senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga menghijau: indeks Nikkei menguat 0,71%, indeks Shanghai melesat 2,1%, indeks hang Seng melejit 2,17%, indeks Straits Times terapresiasi 0,41%, dan indeks Kospi bertambah 0,66%.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup stagnan, padahal  sempat menguat hingga 0,14% terutama di sesi perdagangan pagi. Namun pada pukul 16:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.230 atau sama persis dengan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kondisi ini menunjukkan bahwa para pialang di pasar forex masih mencari alasan kuat untuk memborong rupiah, setelah pekan lalu rupiah terangkat mengiringi pidato nota keuangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintah pada tahun 2020 menyusun asumsi makro ekonomi yang lebih realistis dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3% alias tidak berubah dari target yang dipatok pada R-APBN 2019. Optimisme dimunculkan dengan belanja lebih besar terutama di sektor infrastruktur dan kesehatan sehingga saham sektor konstruksi, farmasi, dan konsumer menguat.


Di pasar obligasi, seluruh imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia membukukan penurunan, yang mengindikasikan bahwa harga menguat akibat aksi buru oleh para investor.

Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079) masing-masing turun sebesar 7,7 bps, 8,7 bps, 7,1 bps, dan 3,4 bps.



Penurunan yield itu terjadi bersamaan dengan pudarnya kekhawatiran global akan peluang pecahnya resesi. Kurva inversi imbal hasil (inverted yield curve) pada obligasi pemerintah AS bertenor 2 dan 10 tahun sudah tidak terjadi lagi. Yield obligasi jangka panjang tidak lagi di bawah yield obligasi jangka pendek.

Kali terakhir yield obligasi tenor dua tahun lebih tinggi dibandingkan yield obligasi 10 tahun terjadi pada 2007, yang diikuti krisis keuangan global. Oleh karena itu, wajar jika investor khawatir dengan pola yang terbentuk ini.

Namun dengan menghilangnya inversi seperti timbul tenggelamnya air pasang di laut, pelaku pasar pun mencerna bahwa yang terjadi saat ini adalah kekhawatiran yang dipicu oleh ketidakpastian yang bersifat sementara. Pemicunya tak lain adalah aspek politik, yakni perang dagang, dan bukan karena kesalahan fundamental di sistem ekonomi.

Ini yang membedakan situasi kurva inversi yang terjadi pada 2007, tatkala pemodal memburu obligasi jangka panjang setelah problem likuiditas di pasar subprime mortgage loan AS terlihat dalam skala yang besar.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(ags)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Z4SHyn
via IFTTT

No comments:

Post a Comment