Mengacu laporan keuangan semester I-2019 di Bursa Efek Indonesia (BEI), Bentoel menderita rugi bersih Rp 312,32 miliar, meski turun 42% dari rugi bersih pada semester I-2018 yakni sebesar Rp 537,53 miliar. Penjualan perusahaan tercatat naik 0,29% menjadi Rp 10,22 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 10,19 triliun.
Tahun lalu, emiten berkode saham RMBA ini juga mengantongi kerugian hingga Rp 608,46 miliar, 26,75% lebih tinggi dibanding kerugian di tahun 2017 yang sebesar Rp 480,06 miliar. Perusahaan, setidaknya terus merugi sejak tahun 2012.
Atas kerugian 7 tahun ini, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mempertanyakan perusahaan tembakau British American Tobacco (BAT) yang menjadi pemilik saham terbesar Bentoel.
BAT memegang 92,48% saham Bentoel seperti terungkap dalam laporan keuangan per Juni 2019.
Pertanyaan ini mengemuka karena DPR menilai pembayaran royalti ke perusahaan induk tersebut terus meningkat.
"BAT ini merupakan perusahaan penanaman modal asing yang ada di Indonesia, dalam prosesnya selama 7 tahun berturut-turut ini merugi," kata politisi Partai Gerindra ini, dikutip laman resmi dpr.go.id
Pernyataan Heri itu diungkapkan usai mengikuti pertemuan Tim Kunjungan Kerja Komisi XI DPR RI dengan Bentoel, Kanwil Dirjen Pajak (DJP) Jawa Timur III, Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) Jatim II, perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Malang, Jawa Timur, pada Senin pekan ini (29/7/2019).
"Kami melihat dengan adanya PMK Nomor 169 tahun 2015 terkait dengan masalah aturan pinjaman kepada afiliasi usaha ataupun anak perusahaan, tahun 2016 BAT melunasi pinjaman anak perusahaan kepada induknya senilai Rp 12 triliun," kata Heri.
Ia menduga ada kemungkinan BAT ini memberikan pinjaman kepada afiliasi anak perusahaan atau membuat catatan seolah-olah perusahaan tersebut terus merugi.
Menurut dia, kalau dilihat dari likuidasi atau catatan konsolidasi induk perusahaan, pendapatan terkait dengan royalti terus meningkat, namun di sisi lain ada beban bunga yang juga meningkat terkait beban bunga pinjaman.
"Adapun tanggapan dari Bentoel ataupun dari BAT itu sendiri, mereka menyatakan apa yang sudah dilakukan ini bisa dipertanggungjawabkan. Tapi tentunya kami tidak berkompeten untuk menilai itu, karena laporan ini kan adanya ke Dirjen Pajak dan ke Dirjen Bea Cukai," ujar politisi dari daerah pemilihan Jawa Barat IV itu.
Ia menuturkan terkait dengan masalah pinjaman afiliasi yang berhubungan ke luar negeri, seperti ke negara Belanda atau Inggris yang mengatur masalah pajak tidak sampai 10%, maka itu menjadi kewenangan di ranah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Harapan kami dengan adanya rapat berbarengan antara industri dengan regulator, tentunya ini bisa saling sinergi untuk saling menguatkan fungsi pengawasan. Kami berharap ke depan hal-hal seperti ini bisa menjadi perhatian yang sangat serius dan bisa segera ditindaklanjuti, tegasnya.
Dia juga berharap adanya keterbukaan yang lebih adil antara pelaku usaha dengan regulator, agar penerimaan negara bisa dioptimalkan untuk menutupi defisit neraca transaksi berjalan.
Pada kesempatan itu, Direktur Bentoel Distribusi Utama Adi Wibowo mengatakan pihaknya selama ini sudah berusaha transparan dan patuh pada regulasi yang ada.
Terkait dengan ketidakpuasan jawaban terhadap pertanyaan Anggota Komisi XI DPR RI, Bentoel akan segera menyiapkan laporan tertulis yang disampaikan kepada Komisi XI DPR RI.
"Saat ini Bentoel Group sedang menyiapkan pertanyaan tertulis untuk disampaikan kepada Komisi XI DPR RI. Bentoel Group berharap jawaban tertulis tersebut dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi komisi XI dalam menjalankan tugas dan fungsinya," pungkas Adi, dikutip dari situs dpr.go.id.
Selain BAT, laporan keuangan mencatat, saham Bentoel juga dimiliki United Bank of Switzerland AG sebesar 7,29%, sementara sisanya milik investor publik 0,23%.
Kisah Bentoel, Lama Tak Ngebul.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/miq)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2SW3lRE
via IFTTT
No comments:
Post a Comment