Pages

Wednesday, August 28, 2019

Terungkap, Ini Penyebab Rupiah Kalah Jauh dari Baht!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2019 merupakan tahun yang sulit bagi pasar keuangan Indonesia, pun begitu bagi pasar keuangan dunia. Bayangkan, berbagai sentimen negatif terus menghantui pergerakan pasar keuangan dunia di sepanjang tahun ini.

Namun yang melegakan, ternyata kinerja rupiah di sepanjang tahun ini bisa dibilang oke. Memang, sepanjang tahun ini rupiah hanya menguat tipis sebesar 0,87% di pasar spot melawan dolar AS.

Akan tetapi, mayoritas mata uang negara-negara kawasan Asia lainnya justru melemah di hadapan dolar AS. Tercatat, hanya ada empat negara yang mata uangnya bisa menaklukkan greenback pada tahun ini, termasuk Indonesia. Tiga lainnya adalah Thailand, Jepang, dan Filipina.

Khusus untuk yen, wajar jika mata uang Negeri Sakura tersebut menunjukkan kinerja yang oke sepanjang tahun ini. Pasalnya, yen merupakan safe haven atau instrumen yang akan menjadi tempat persinggahan pelaku pasar kala kondisi tak mendukung untuk masuk ke instrumen yang relatif berisiko.

Namun, kinclongnya kinerja baht selaku mata uang Thailand patut menjadi sorotan. Bukan safe haven, tapi baht mampu memukul mundur dolar AS sebesar lebih dari 5%.

Untuk diketahui, salah satu sentimen yang mewarnai pergerakan pasar keuangan dunia di sepanjang tahun ini adalah perang dagang AS-China yang kian hari kian panas saja. Menjelang dan pada akhir pekan kemarin, perang dagang antar dua negara terbesar di dunia tersebut kembali tereskalasi.

Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Kala perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia terus-menerus memanas, perekonomian global akan mendapatkan tekanan yang signifikan dan itulah yang terjadi saat ini.

Pada tahun 2018 dan 2019, perang dagang AS-China membawa laju perekonomian dunia meredup. Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi dunia melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi dunia melandai menjadi 3,6%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan kembali melandai menjadi 3,2%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian dunia justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.

Tak heran jika mata uang negara-negara kawasan Asia dilego pelaku pasar untuk ditukarkan ke dolar AS yang juga merupakan safe haven seperti yen.

Tapi, apa yang membuat rupiah sampai kalah jauh dari baht?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Padahal, Pertumbuhan Ekonomi Thailand Anjlok Loh (ank)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/349ySoE
via IFTTT

No comments:

Post a Comment