Pages

Monday, August 19, 2019

Resesi Hantui Amerika di 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Hantu resesi menjadi ketakutan tersendiri bagi sejumlah negara di dunia. Tak terkecuali negara adi daya Amerika Serikat (AS).

Apalagi, sempat terjadi inversi pada yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun. Inversi merupakan keadaan di mana yield atau imbal hasil obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang, yang biasanya merupakan sinyal resesi.

Namun survei terbaru Asosiasi Nasional untuk Ekonom Bisnis (NABE) mengatakan resesi tidak akan terjadi sekarang. AS akan diserang resesi di tahun 2020 atau 2021.


Dari ekonom yang diambil pendapatnya, sebagian besar mengakui sikap dovish Bank Sentral Amerika The Federal Reserve (The Fed) membuat resesi belum akan terjadi 2019. Stimulus diberikan lembaga yang dipimpin Jerome Powell antara lain dengan penurunan suku bunga.

Hanya 2% dari 226 responden yang memproyeksikan resesi terjadi di 2019. Ini berbeda sekali dengan hasil survei NABE sebelumnya, dimana ada 10% ekonom memprediksi resesi di tahun ini.

"Responden survei menunjukkan bahwa peningkatan (risiko resesi) akan tertunda karena perubahan kebijakan moneter," kata Presiden NABE Constance Hunter sebagaimana dikutip dari AFP, Senin (19/8/2019).


The Fed memangkas suku bunga 31 Juli lalu. Ini menandakan sinyal kuat bahwa The Fed akan menghentikan kenaikan suku karena berbagai kekhawatiran termasuk perang dagang AS dengan China, mulai mempengaruhi ekonomi.

Namun begitu, Hunter menyebut para ekonom masih memperdebatkan apakah resesi akan berlangsung pada 2020 atau 2021. Dalam ringkasan surveinya, Hunter menyebut ada 38 ekonom yang mengatakan resesi akan terjadi tahun depan dan 34% yang mengatakan resesi akan terjadi pada 2021.

Selain itu, dalam laporan disebutkan ada sebanyak 46% ekonom memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak satu kali lagi tahun ini. Sementara sekitar 1/3 ekonom mengatakan pemotongan suku bunga tidak akan terjadi lagi atau tetap di 2,5% sebagai ujung tertinggi proyeksi kebijakan.

Para ekonom juga menyatakan ragu hubungan dagang AS-China akan membaik. Meski, dalam laporan itu, ada sebanyak 64% ekonom yang percaya kesepakatan dagang akan dicapai segera.

Namun, hasil itu diambil sebelum Trump mengancam untuk menerapkan tarif 10% untuk US$ 300 miliar barang China yang belum dikenai tarif. Awalnya tarif baru akan berlaku pada 1 September tapi baru-baru ini ditunda hingga 15 Desember.

Sebelumnya, Trump menyalahkan The Fed atas keadaan yang menimpa AS seiring sinyal resesi semakin meningkat. Namun, sebanyak 55% ekonom yang disurvei NABE mengatakan kritik pedas Trump tidak akan mempengaruhi keputusan The Fed, malah mengancam indenpendensi bank sentral itu.

Lebih lanjut, ekonom malah menuding kebijakan pemotongan pajak Trump memiliki dampak negatif secara keseluruhan misalnya pada aktivitas di sektor perumahan selama 18 bulan terakhir. Ini terjadi karena adanya perubahan dalam jumlah pengurangan yang diizinkan untuk bunga hipotek.

[Gambas:Video CNBC]

(sef/sef)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2KUxb5B
via IFTTT

No comments:

Post a Comment